KARTU KREDIT SYARI’AH
A.
Defenisi Karu Kredit
Kartu kredit (Inggris; credit card, Arab; bithaqah
i’timan) yang dalam Islamic finance dikenalkan istilah Islamic card atau
shariah card di dunia yang menuju less cash society pada hakikatnya merupakan
salah satu instrumen dalam sistem pembayaran sebagai sarana mempermudah proses
transaksi yang tidak tergantung kepada pembayaran kontan dengan membawa uang
tunai yang beresiko. Dalam beberapa literatur fiqih kontemporer, status hukumnya
sebagai objek atau media jasa kafalah (jaminan) yang disertai talangan
pembayaran (qardh) serta jasa ijarah untuk kemudahan transaksi. Perusahaan
perbankan dalam hal ini yang mengeluarkan kartu kredit (bukti kafalah) sebagai
penjamin (kafil) bagi pengguna kartu kredit tersebut dalam berbagai transaksi.
Oleh karena itu berlaku di sini hukum kafalah, qardh dan ijarah. Sementara
dalam ketentuan Umum fatwa Dewan Syariah Nasional- Majelis Ulama Indonesia
(DSN-MUI) No. 54/DSN-MUI/X/2006, tentang Syariah Card (Bithaqah I’timan/Credit
Card) yang dimaksud dengan Syariah Card adalah kartu yang berfungsi seperti
Kartu Kredit yang hubungan hukum (berdasarkan sistem yang sudah ada) antara
para pihak berdasarkan prinsip Syariah sebagaimana diatur dalam fatwa.
B.
Ayat Al-Qur’an
يَآ أَيُّهَا
الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى
فَاكْتُبُوْهُ وَ لْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ.....(البقرة)
Artinya:”Hai orang-orang yang beriman, apa bilakamu bermuamalah tidak
secara tunai untuk waktu yang tidak ditentukan henaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan
benar......(Al-Baqarah:280).
Kata dain berasal dari kata dana-yadinu
yang berarti memberikan pinjaman berupa uang yang harus dikembalikan dalam
waktu tertentu sesuai dengan waktu yang disepakati bersama antara yang
meminjamkan dengan yang meminjam. Makna asal kata ini adalah Ad-dain yang
berari ganti yang diakhirkan atau ditunda.
Ayat ini merupakan kelanjutan
dari ayat sebelumnya yang menerangkan keutamaan sedekah, menafkahkan harta di
jalan Allah yang timbul dari hati
sanubari, semata-mata karena Allah, dan dengan dilandasi rasa kasihsayang
terhadap sesama umat manusia. Selanjutnya Allah melarang riba dan menerangkan
keburukannya, karena riba itu semata-mata hanya untuk mencari keuntungan, tanpa
mengindahkan dan memperdulikan kesulitan orang lain. Pada ayat ini Allah
menerangkan pokok-pokok mu’amalah yang didasarkan pada keadilan dan kerelaan
masing-masing pihak, sehingga menghilangkan keragu-raguan dan sebagainya.
Sayyid Qutub mengatakan,
kandungan ayat ini berkanaan dengan hukum-hukum khusus mengenai hutang piutang,
perdagangan, dan gadai ini adalah untuk melengkapi hukum-hukum di muka yang berkenaan dengan sedekah dan riba. Dalam
kajian terdahulu telah dibicarakan tentang transaksi-transaksi ribawi, hutang
piutang ribawi, dan jual beli dengan sistem riba. Maka, di sini dibicarakanlah
tentang qardhu Al-hasan (hutang piutang) dengan tanpa menggunakan bunga,
dan transaksi-transaksi perdagangan tunai yang bebas dari riba.[1]
Tafsir departemen agama ketika
menafsirkan ayat ini memberikan judul,”Tanda Bukti Dalam Transaksi”.
Sayyid Qutub dalam tafsirnya
ketika membahas ayat ini memberikan judul, Tata aturan mengenai masalah
utang piutang dan jual beli. Yang lebih menarik lagi kketika Qutub
memberikan komentarnya pada penggalan pertama ayat yang cukup panjang ini. Ia
mengatakan, inilah prinsip umum yang hendak ditetapkan. Oleh karena itu menulis
ini merupakan sesuatu yang diwajibkan dengan nash, tidak dibiarkan manusia
memilihnya (untuk melakukannya atau tidak melakukannya) pada waktu melakukan
transaksi bertempo (utang piutang), karena suatu himah yang akan dijelaskan di
akhir nash.[2]
Dengan tegas qutub mengatakan,
perintah menulis adalah fardhu yang ditegaskan oleh nash dan di tujukan pada
pihak ketiga. Dengan kata lain, orang yang menuliskan utang piutang itu sebagai
sekretaris. Hikmah mengundang pihak ketiga, bukan salah satu dari kedua belah
pihak yang bertransaksi, ialah agar lebih berhati-hati. Juru tulis ini
diperintaahkan untuk menulis dengan adil, tidak boleh condong kepada salah satu
pihak,dan tidak boleh mengurangi atau menambahkan sesuatu dalam teks yang telah
disepakati itu.[3]
C.
Hukum-Hukum Syari’at Tentang Kartu Kredit
Kartu-kartu kredit ini mencuatkan beberapa kemusykilan menurut
ajaran syariat yang akan penulis paparkan sebagai berikut sebagian di
antaranya:
v
Persyaratan berbau riba
Transaksi
untuk mengeluarkan kartu-kartu tersebut pada umumnya mengandung beberapa
komitmen berbau riba yang intinya mengharuskan pemegang kartu untuk membayar
bunga-bunga riba atau denda-denda finansial bila terlambat menutupi hutangnya.
Apa pengaruh komitmen-komitmen tersebut terhadap sah tidaknya transaksi
pembuatan kartu-kartu kredit ini?
Ulama Fiqih
kontemporer ketika membahas persoalan ini pandangan mereka terbagi menjadi dua
kubu:
Pertama:Kubu
yang membolehkan.
Mereka
menganggap bahwa transaksi itu sah, namun komitmennya batal. Yakni apabila
pihak nasabah yakin bahwa ia akan mampu menjaga diri untuk tidak terjerumus ke
dalam konsekuensi menanggung akibat ko-mitmen tersebut. Karena syarat rusak ini
pada dasarnya menurut kaca mata syariat sudah batal dengan sendirinya. Syarat
ini munkar dan justru harus dilakukan kebalikannya. Dasar mereka yang
membolehkan adalah sebagai berikut:
1. Sabda
Nabi kepada Aisyah ketika Aisyah hendak membeli Barirah namun majikannya tidak
mau melepaskannya kecuali dengan syarat, hak wala’ budak itu tetap milik
mereka. Itu jelas syarat yang bertentangan dengan ajaran syariat, karena
loya-litas atau perwalian menurut syariat diberikan kepada orang yang
membebaskannya. Nabi bersabda kepada Aisyah, “Belilah budak itu, dan
tetapkan syarat bagi mereka, karena perwalian itu hanya diberikan kepada yang
memerdekakan. Karena perwalian itu adalah hak orang yang membebaskannya,”
Makna
hadits: Janganlah pedulikan, karena persyaratan me-reka itu bertentangan dengan
yang haq, ini bukan untuk pembo-lehan namun yang dimaksudkan adalah penghinaan
dan tidak ambil peduli dengan syarat itu serta keberadaan syarat itu sama
dengan tidak ada.
Dari sini dapat dipahami bahwa jika seseorang memaksakan
suatu syarat yang bertentangan dengan syariat mengenai akad-akad yang
diperlukan secara luas dan ia enggan untuk menetapkan akad tersebut kecuali
berdasarkan syarat yang rusak ini, maka akad-akad ini tidak boleh dihentikan
karena pemaksaan itu. Tidak boleh difatwakan mengenai ketidaklegalannya, tetapi
tetap harus dilaksanakan. Dan harus diupayakan untuk membatalkan syarat yang
rusak ini, baik lewat penguasa maupun dengan cara berusaha menjaga diri agar
tidak terperangkap syarat tersebut bila pada satu masa tidak ada penguasa yang
menegakkan syariat Allah.
2. Karena
sudah terlalu banyak yang melakukannya di ber-bagai negeri dengan adanya
transaksi pemakaian listrik, telepon dan lain sebagainya, yang kesemuanya
menggunakan komitmen-komitmen yang sama, yaitu apabila pihak pelanggan terlambat
membayar berarti harus dikenai denda tertentu. Namun ternyata tidak seorangpun
ulama yang mengharamkan berlangganan fasi-litas-fasilitas tersebut, padahal
syarat-syarat tersebut ada di dalamnya.
3. Pinjaman
tidak begitu saja batal karena batalnya persya-ratan. Bahkan peminjaman itu
tetap sah meskipun syaratnya batal, berdasarkan sabda Nabi : “Kenapa masih ada
orang yang menetapkan syarat yang tidak berasal dari Kitabullah? Barangsiapa
yang menetapkan syarat yang bukan berasal dari Kitabullah maka persyaratannya
batal, meski jumlahnya seratus syarat.”
Kubu
kedua,yakni yang melarangnya.
Mereka menganggap transaksi tersebut batal. Demikian pendapat
tegas dari kalangan Malikiyah dan Syafi’iyah.
Mereka membantah dalil yang digunakan oleh kubu per-tama,
yakni tentang hadits Barirah, bahwa qiyas itu adalah qiyas dengan alasan
berbeda. Karena dalam kasus Barirah syarat terse-but mampu dibatalkan oleh
Aisyah karena dianggap berten-tangan dengan ajaran syariat. Karena
kejadian itu terjadi ketika syariat Islam betul-betul masih menjadi panutan,
Negara Islam masih menjadi pemelihara ajaran Islam dan masih memimpin dunia.
Bagaimana mungkin bisa dibandingkan dengan syarat berbau riba dalam pengambilan
kartu kredit yakni syarat yang bersandar pada referensi sekulerisme yang
didasari atas pemisahan agama dengan negara, lalu mengingkari referensi Islam
yang suci yang melibatkan agama dalam kehidupan manusia?
Mereka juga membantah qiyas dengan transaksi pemakai-an
listrik dan telepon, karena fasilitas ini amatlah dibutuhkan dan kemaslahatan
kehidupan umat manusia amat tergantung kepa-danya.
Sementara kartu kredit memiliki bobot vitalitas yang lebih
rendah dari itu. Orang bisa saja hidup secara wajar atau cukup wajar tanpa
menggunakan kartu-kartu itu. Namun ia tidak akan bisa hidup wajar tanpa
menggunakan fasilitas listrik dan telepon misalnya.
Yang benar
menurut kami bahwa hukumnya adalah boleh-boleh saja bagi orang yang
berberatsangka bahwa ia akan mampu menunaikan hutangnya pada waktu yang
diperkenankan, sehingga dengan demikian ia tidak akan terkena konsekuensi
persyaratan itu, tentunya dengan mengupayakan segala cara yang bisa dilakukan
untuk tujuan tersebut. Wallahu A’lam.
D.
Kongklusi Hukum
Para ulama membolehkan sistem dan praktik kafalah
dalam muamalah berdasarkan dalil al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Allah berfirman:
“dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat)
beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.” (QS. Yusuf:72). Ibnu Abbas
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata “za’im” dalam ayat tersebut adalah
“kafil”. Sabda Nabi saw.: “az-Za’im Gharim” artinya; orang yang menjamin
berarti berutang (sebab jaminan tersebut). (HR. Abu Dawud, Turmudzi, Ibnu
Hibban). Ulama sepakat (ijma’) tentang bolehnya praktik kafalah karena lazim
dibutuhkan dalam muamalah. (Lihat, Subulus Salam, III/62, Al-Mabsuth, XIX/160,
Al-Mughni, IV/534, Mughnil Muhtaj, II/98).
Kafalah pada
dasarnya adalah akad tabarru’ (suka rela/voluntary) yang bernilai ibadah bagi
penjamin karena termasuk kerjasama dalam kebajikan (ta’awun ‘alal birri), dan
penjamin berhak meminta gantinya kembali kepada terutang, sepantasnyalah ia
tidak meminta upah atas jasanya tersebut, agar aman/jauh dari syubhat. Tetapi
kalau terutang sendiri yang memberinya sebagai hadiah atau hibah untuk
mengungkapkan rasa terima kasihnya, maka sah-sah saja. Namun demikian, jika
penjamin sendiri yang mensyaratkan imbalan jasa (semacam uang iuran
administrasi kartu kredit dan sebagainya) tersebut dan tidak mau menjamin
dengan sukarela, maka dibolehkan bagi pengguna jasa jaminan memenuhi tuntutan
tersebut bila diperlukan seperti kebutuhan yang lazim dalam perjalanan studi,
transaksi bisnis, kegiatan sosial, urusan pribadi dan sebagainya.
Secara
prinsip kartu kredit tersebut dibolehkan syariah selama dalam prakteknya tidak
bertransaksi dengan sistem riba yaitu memberlakukan ketentuan bunga bila
pelunasan hutang kepada penjamin lewat jatuh tempo pembayaran atau menunggak.
Di samping itu ketentuan uang jasa kafalah tadi tidak boleh terlalu mahal
sehingga memberatkan pihak terutang atau terlalu besar melebihi batas rasional,
agar terjaga tujuan asal dari kafalah, yaitu jasa pertolongan berupa jaminan
utang kepada merchant, penjual barang atau jasa yang menerima pembayaran dengan
kartu kredit tertentu.(Lihat, DR. Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuhu, vol. V/130-161).
Dengan
demikian dibolehkan bagi umat Islam untuk menggunakan jasa kartu kredit (credit
card) yang tidak memakai sistem bunga. Namun bila terpaksa atau tuntutan
kebutuhan mengharuskannya menggunakan kartu kredit biasa yang memakai ketentuan
bunga, maka demi kemudahan transaksi dibolehkan memakai semua kartu kredit
dengan keyakinan penuh menurut kondisi finansial dan ekonominya mampu membayar
utang dan komitmen untuk melunasinya tepat waktu sebelum jatuh tempo agar tidak
membayar hutang. Hal ini berdasarkan prinsip fiqih ‘Saddudz Dzari’ah’, artinya
sikap dan tindakan preventif untuk mencegah dari perbuatan dosa. Sebab, hukum
pemakan dan pemberi uang riba adalah sama-sama haram berdasarkan riwayat Ibnu Mas’ud
bahwa: “Rasulullah saw melaknat pemakan harta riba, pembayar riba, saksi
transaksi ribawi dan penulisnya.” (HR. Bukhari, Abu Dawud).
DSN-MUI
dalam fatwanya menetapkan hukum bahwa Syariah Card dibolehkan, dengan ketentuan
sebagaimana diatur dalam fatwa. Ketentuan Akad yang digunakan dalam Syariah
Card adalah; (a). Kafalah; dalam hal ini Penerbit Kartu adalah penjamin (kafil)
bagi Pemegang Kartu terhadap Merchant atas semua kewajiban bayar (dayn) yang
timbul dari transaksi antara Pemegang Kartu dengan Merchant, dan/atau penarikan
tunai dari selain bank atau ATM bank Penerbit Kartu. Atas pemberian Kafalah,
penerbit kartu dapat menerima fee (ujrah kafalah). (b). Qardh; dalam hal ini
Penerbit Kartu adalah pemberi pinjaman (muqridh) kepada Pemegang Kartu (muqtaridh)
melalui penarikan tunai dari bank atau ATM bank Penerbit Kartu. (c). Ijarah;
dalam hal ini Penerbit Kartu adalah penyedia jasa sistem pembayaran dan
pelayanan terhadap Pemegang Kartu. Atas Ijarah ini, Pemegang Kartu dikenakan
membership fee.
DSN-MUI
mengatur batasan penggunaan Syariah Card sebagai berikut ; (a). Tidak
menimbulkan riba, (b). Tidak digunakan untuk transaksi yang tidak sesuai dengan
syariah, (c). Tidak mendorong pengeluaran yang berlebihan (israf), dengan cara
antara lain menetapkan pagu maksimal pembelanjaan, (d). Pemegang kartu utama
harus memiliki kemampuan finansial untuk melunasi pada waktunya. (e). Tidak
memberikan fasilitas yang bertentangan dengan syariah.
Fatwa
tersebut dikeluarkan dengan pertimbangan bahwa dalam rangka memberikan
kemudahan, keamanan, dan kenyamanan bagi nasabah dalam melakukan transaksi dan
penarikan tunai, Bank Syariah dipandang perlu menyediakan sejenis Kartu Kredit,
yaitu alat pembayaran dengan menggunakan kartu yang dapat digunakan untuk
melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi,
termasuk transaksi pembelanjaan dan atau untuk melakukan penarikan tunai, di
mana kewajiban pembayaran pemegang kartu dipenuhi terlebih dahulu oleh acquirer
atau penerbit, dan pemegang kartu berkewajiban melakukan pelunasan kewajiban
pembayaran tersebut pada waktu yang disepakati secara angsuran. Selain itu,
Kartu Kredit yang ada menggunakan sistem bunga (interest) sehingga tidak sesuai
dengan prinsip Syariah dan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas kartu yang
sesuai Syariah, Dewan Syariah Nasional MUI memandang perlu menetapkan fatwa
tentang Syariah Card yang fungsinya seperti Kartu Kredit untuk dijadikan
pedoman.
Ketentuan
kartu kredit ini selain mmerujuk pada ayat Al-Qur’an juga merujuk pada hadis
Nabi s.a.w. antara lain: “Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin
kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram;
dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR Tirmidzi), “Tidak
boleh membahayakan (merugikan) diri sendiri maupun orang lain.” HR. Ibnu Majah
dan al-Daraquthni, “Telah dihadapkan kepada Rasulullah s.a.w. jenazah seorang
laki-laki untuk dishalatkan. Rasulullah bertanya, ‘Apakah ia mempunyai utang?’
Sahabat menjawab, ‘Tidak’. Maka, beliau menshalatkannya. Kemudian dihadap-kan
lagi jenazah lain, Rasulullah pun bertanya, ‘Apakah ia mempunyai utang?’ Mereka
menjawab, ‘Ya’. Rasulullah berkata, ‘Shalatkanlah temanmu itu’ (beliau sendiri
tidak mau menshalatkannya). Lalu Abu Qatadah berkata, ‘Saya menjamin utangnya,
ya Rasulullah’. Maka Rasulullah pun menshalatkan jenazah tersebut.” HR. Bukhari,
“Za’im (penjamin) adalah gharim (orang yang menanggung utang)”. HR. Abu Daud,
Tirmidzi dan Ibn Hibban, “Kami pernah menyewakan tanah dengan (bayaran) hasil
pertaniannya; maka, Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan
memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau perak.” HR. Abu Dawud,
“Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya.” HR. Abd
ar-Razzaq, “Orang yang melepaskan seorang muslim dari kesulitannya di dunia,
Allah akan melepaskan kesulitannya di hari kiamat; dan Allah senantiasa
menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya” HR. Muslim,
“…Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu
kezhaliman…” HR. Jama’ah, “Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang
mampu, menghalalkan harga diri dan memberikan sanksi kepadanya.” HR. Nasa’i,
Abu Daud, Ibn Majah, dan Ahmad, dan “Orang yang terbaik di antara kamu adalah
orang yang paling baik dalam pembayaran utangnya.(HR. Bukhari).
Kaidah Fiqh
yang menjadi dasar fatwa antara lain: (a). “Pada dasarnya, semua bentuk
muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” (b).
“Kesulitan dapat menarik kemudahan.” (c). “Keperluan dapat menduduki posisi
darurat.” (d). “Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan sama dengan
sesuatu yang berlaku berdasarkan syara’ (selama tidak bertentangan dengan
syariat).” (e). “Menghindarkan kerusakan (kerugian) harus didahulukan
(diprioritaskan) atas mendatangkan kemaslahatan.” Selain itu, keputusan fatwa
tersebut diambil setelah mempelajari pendapat fuqaha’ dan fatwa di dunia
internasional.[4]
Adapun fatwa
lain yang menjadi rujukan adalah Keputusan Hai’ah al-Muhasabah wa al-Muraja’ah
li-al-Mu’assasah al-Maliyah al-Islamiyah, Bahrain, al-Ma’ayir al-Syar’iyah Mei
2004: al-Mi’yar al-Syar’i, nomor 2 tentang Bithaqah al-Hasm wa Bithaqah
al-I’timan. Demikian pula Fatwa-fatwa DSN-MUI terkait yaitu a. No.
9/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah, b. No.11/DSN-MUI/IV/2000 tentang
Kafalah, c. No.17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi atas Nasabah Mampu yang
Menunda-nunda Pembayaran, d.No.19/DSN-MUI/IV/2001 tentang Qardh;
e.No.43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ta’widh. Sebagai perbandingan dapat pula
dilihat fatwa terkait kartu kredit yang dikeluarkan oleh Al-Lajnah Ad-Daa-imah
Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta, Fatwa Nomor, 3675, 5832, dan Pertanyaan ke-1
dari Fatwa Nomor 7425.
Kesimpulannya,
kartu kredit (Inggris; credit card, Arab; bithaqah i’timan) yang
dalam Islamic finance dikenalkan istilah Islamic card atau shariah card di
dunia yang menuju less cash society pada hakikatnya merupakan salah satu
instrumen dalam sistem pembayaran sebagai sarana mempermudah proses transaksi
yang tidak tergantung kepada pembayaran kontan dengan membawa uang tunai yang
beresiko.
Tujuannya
adalah agar manusia merasa aman dalam menggunakan uangnya untuk memenuhi
kebutuhannyakarena tidak perlu membawa uang tunai yang berpotensi menyebabkan
penncurian.
Perusahaan
perbankan dalam hal ini yang mengeluarkan kartu kredit (bukti kafalah) sebagai
penjamin (kafil) bagi pengguna kartu kredit tersebut dalam berbagai transaksi.
Oleh karena itu berlaku di sini hukum kafalah, qardh dan ijarah. Para ulama
membolehkan sistem dan praktik kafalah dalam muamalah berdasarkan dalil
al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’.
[1] .Sayyid
Qutub, Fi Zilali Al-Qur’an , juz 1,hal. 334
[2] .Ibid.
[3] .Ibid.
[4]
. antara lain Imam al-Dimyathi dalam
kitab I’anah al-Thalibin, jilid III, hal. 77-78, Khatib Syarbaini dalam kitab
Mughni al-Muhtaj, jilid III, hal. 202, As-Syirazi dalam kitab al-Muhadzdzab,
juz I, Kitab al-Ijarah, hal. 394, Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh al-Sunnah,
jilid 4, hal. 221-222, Mushthafa ‘Abdullah al-Hamsyari sebagaimana dikutip oleh
Syaikh ‘Athiyah Shaqr, dalam kitab Ahsan al-Kalam fi al-Fatawa wa al-Ahkam,
jilid 5, hal. 542-543: “Letter of Credit (L/C).